matanya rabun.
ia tidak pernah bisa melihat bulan secara utuh. penuh dan tegas.
ia selalu melihatnya sebagai sebuah hiasan cantik yang berbayang pinggirnya.
kadang dua atau tiga.
tapi ia selalu bisa melihat bintang dengan jelas.
karena bintang memang tidak pernah berbatas tegas, begitulah pikirnya.
maka setiap gelap datang,
entah di dalam rumah, hati, ataupun pikirnya,
ia akan keluar, dengan kaki telanjang menapak bumi.
ia berdiri di depan pagar, selalu seperti itu.
jemarinya menggenggam besi pagar. erat.
seakan ia akan terjatuh bila tidak berpegangan.
lalu ia akan melayangkan pandangan ke atas sana.
dan mulai menghitung.
ia lepaskan genggaman dari pagar dan mulai menghitung dengan jarinya.
satu, dua, tiga, empat bintang...
tapi jarinya seakan tidak pernah cukup membantu.
...
ribuan malam telah berlalu.
matanya masih tetap rabun.
gelap masih sesekali mendatanginya,
masih, di dalam rumah, hati, atau pikirannya.
tapi ia telah memiliki sebuah kacamata.
untuk melihat bulan dengan lebih jelas,
kendati baginya bintang tetap terlihat sama,
masih, sama seperti yang dulu.
lalu ia mulai menghitung jemari tangannya,
yang kini lebih pucat dan terdapat beberapa luka,
tapi ternyata memang,
jemarinya tidak pernah cukup untuk menghitung bintang.
No comments:
Post a Comment