Wednesday, September 16, 2009

de lichten zal je thuis brengen

Gadis kecil itu duduk di bangku taman di petak kecil di area grote maarkt di het centrum Brussel. Rambut ikalnya dikepang menjadi dua. Dia memakai mantel hitam, stocking hitam, boots coklat, sarung tangan hitam, dan dilehernya dililit syal merah. Mata kecilnya mengerjap-ngerjap memandang sekitar.

Sekarang bulan Februari dan dingin masih sangat terasa bahkan untuk sebuah kota yang tidak pernah mati seperti Brussel. Musim dingin menyapa dengan tidak terlalu ramah bulan ini. Sejak masuk musim dingin hingga saat gadis kecil duduk di bangku taman, sebutir salju pun belum turun dari langit. Yang ada hanya dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Gadis kecil itu sudah duduk di sana sejak tadi sore. Ia hanya duduk di bangku taman itu sembari memperhatikan sekitarnya. Ia terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Matanya memandang ke arah depan, ia sedang memperhatikan bangunan Sint Hubertus Gallery. Turis-turis ramai sekali hilir-mudik memasuki galeri kuno tersebut. Gadis kecil itu tersenyum kecil. Ia ingat di dalamnya ada sebuah toko coklat mahal yang sangat terkenal.

Ia lalu memperhatikan seorang seniman tua yang sedang bermain gitar sembari meniup harmonica di depan pintu masuk galeri tersebut. Kakek itu membawakan sebuah lagu country. Orang-orang memperhatikannya dengan antusias, beberapa maju dan melemparkan beberapa sen Euro ke dalam topi hitam yang kakek tua itu letakkan di lantai. Kakek tua itu memiliki jenggot putih yang sangat lebat. Gadis kecil itu kembali tersenyum, ia teringat dengan santa claus yang berfoto bersamanya di festival natal tahun lalu.

Kini mata kecilnya beralih ke daerah lain. Ia memperhatikan orang-orang yang sedang duduk di teras cafe. Bangunan cafe itu melekat satu sama lain, tapi di tiap bangunan ada ciri khasnya tersendiri. Indah sekali bangunan tua khas Eropa itu. Orang-orang duduk santai di teras sambil menikmati kopi ataupun minuman beralkohol masing-masing. Beberapa dari mereka mukanya berubah menjadi merah. Seperti seorang anak kecil yang sedang malu-malu. Gadis kecil itu tersenyum, ia teringat secangkir coklat panas yang selalu ia pesan bersama ibunya. Setiap meneguknya, ibunya akan berkata kalau wajahnya sedang memerah, dan ia terlihat lebih cantik dengan pipi yang merona itu.

Senja sudah mulai merapat. Rona jingga di ufuk barat terlukis dengan indahnya selayaknya goresan tangan Sang Pencipta. Dan gadis kecil itu masih duduk di sana. Masih asyik memandangi sekitarnya. Rombongan turis dari Jepang yang sibuk dengan kamera masing-masing, anak-anak sebayanya yang sedang berlari-lari mengejar orang tuanya, pasangan kekasih yang sibuk bercengkrama sembari melihat-lihat handcrafts yang dijual di tenda-tenda kecil, sampai pasangan kakek & nenek yang sedang tertawa hangat sembari menikmati secangkir kecil teh inggris mereka.

Gadis kecil itu masih duduk di sana.

Tanpa ia sadari, seorang ibu penjual bunga memperhatikannya sejak tadi. Sang ibu penjual bunga khawatir dengan gadis kecil itu. Apa gadis ini tersesat? Atau ia sedang menunggu orang tuanya? tanya sang ibu penjual bunga dalam batinnya. Ia mendongak ke atas langit, gelap perlahan menyelimuti langit Brussel malam itu. Kekhawatiran sang ibu pun memuncak, ia memutuskan untuk menghampiri gadis kecil itu.

"Bonsoir, Mademoiselle" (Selamat sore, Nona), tanya sang ibu, ia duduk jongkok di depan gadis kecil itu. Matanya menatap wajah gadis itu lekat-lekat.

"Bonsoir, Madame. Je nes parle pas francais. Je parle hollandais" (Selamat sore, Nyonya. Saya tidak bisa berbahasa perancis. Saya berbahasa belanda), ucapnya sambil tersenyum kecil.

"Ach, zo. Dan zal ik nederland spreken. Ik kom ook uit Vlaanderen" (Ah, baiklah. Kalo begitu, saya akan berbahasa belanda. Saya juga berasal dari Flanders), jawabnya dengan lembut.

"Ja, da's goed, Mevrouw"(Ya, itu bagus, Nyonya)

"Alle, dan. Hoe heet jij?"(Baiklah, namamu siapa?)

"Ik heet het meisje"(Saya dipanggil gadis kecil)

"Het meisje? Alle, dat is geen naam, he, lieve?"(Gadis kecil? Itu bukanlah sebuah nama, Sayang)

"Ja wel"(Tentu iya)

"Waar woont je dan?" (Dimana kamu tinggal?)

"In overpelt, Mevrouw, in Noord Limburg."(Di overpelt, Nyonya, di Limburg Utara)

"Dat is wel ver, meisje"(Itu jauh, nak)

"Ja, he. Twee uren met de trein"(Ya, 2 jam dengan kereta)

"En wat doe je hier? Waar is je ouders?"(Dan apa yang kau lakukan di sini? Dimana orangtuamu?)

"Mijn ouders zijn thuis, Mevrouw"(Orangtuaku di rumah, Nyonya)

"Zijn ze thuis? Dan ben je alleen in hier? Of toch niet?" (Mereka di rumah? Lalu apakah kau sendirian di sini? Atau tidak?)

"Ja, ik ben alleen in hier"(Ya, aku sendiri di sini)

"Alle meisje, da's niet goed, he! Nu is al donker in hier, je moet zeker straaks naar huis gaan, als niet jou ma en pa zullen je opzoeken"(Oh gadis kecil, ini tidak baik! Sekarang sudah mulai gelap di sini, kamu harus segera pulang ke rumah, kalau tidak orangtuamu akan mencari-carimu)

"Nee, Mevrouw, ze weten't wel"(Tidak, Nyonya, mereka tau tentang hal ini)

"Ja, maar wat doe je toch hier? Kom maar, ik zal je naar het centraal station brengen"(Ya, tapi apa yang lakukan di sini? Ayolah, aku akan mengantarmu ke stasiun sentral)

"Dat hoef niet, lieve Mevrouw, maakt U zich geen zorgen"(Tidak perlu, Nyonya yang baik, jangan khawatir)

"Alle, kom maar. Wat zal je hier doen?"(Ayolah, apa yang akan kau lakukan di sini?)

"Ik zal op hem wachten"(Aku akan menunggunya)

"Wacht op wat? Wie?"(Menunggu apa? Siapa?)

"De ster"(Bintang)

"De ster? Wat bedoel je? Ik begrijp je niet"(Bintang? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti)

"Ja, de ster met het lichten"(Ya, bintang dan cahayanya)

"Wat bedoel je, meisje? Ik begriep je helemaal niet"(Apa maksudmu gadis kecil? Aku benar-benar tidak mengerti)

"Ach, daar is hij"(Ah, itu dia), pekiknya sembari menunjuk ke atas langit.


Sang ibu penjual bunga pun ikut mendongak ke atas. Gadis kecil itu menunjuk ke arah sebuah bintang. Malam memang sudah sejak tadi datang. Di langit bertaburan beberapa bintang.

"Daar komt hij"(Itu dia datang).


Gadis kecil itu tersenyum senang. Matanya berbinar-binar memandang bintang tersebut. Ia beranjak dari bangku taman, mengencangkan syal merah di lehernya, dan bersiap-siap untuk pergi.

"Waar ga je naar toe?"(Kau mau pergi kemana?), tanya sang ibu penjual bunga, masih dalam kebingungan yang besar.

"Ik ga naar huis, Mevrouw, met hem"(Aku akan kembali ke rumah Mevrouw, dengannya", ia berkata sambil tersenyum sembari menunjuk kembali ke arah bintang di langit.

"Met hem? Hoe komt dat?"(Dengannya? Bagaimana bisa?)

"Ja, Mevrouw, omdat de lichten zal mij thuis brengen"(Ya, Nyonya, karena cahayanya akan mengantarkan aku kembali ke rumah)

Sang ibu penjual bunga masih diam kebingungan.

"Dank U wel, Mevrouw. Prettig U te ontmoeten"(Terima kasih, Nyonya, senang berkenalan denganmu)


Dan gadis itu pun melangkah pergi. Ia sempat menoleh ke sang ibu penjual bunga yang masih terpana kebingungan. Ia tersenyum sembari melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Senyumnya berbeda dengan senyum-senyum kecilnya sebelumnya. Senyumnya menyiratkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang teramat sangat. Ia terus melangkah jauh dengan penuh keceriaan. Sesekali ia mendongak ke atas, tersenyum bahagia menatap bintangnya nun jauh di atas langit malam.

Gadis kecil itu pun akhirnya menghilang dari pandangan sang ibu. Ia telah pergi, entah kemana, bersama bintangnya, dan cahayanya.

Kemudian butir demi butir salju turun dari langit. Putih dan dingin.

Salju pertama di musim dingin di Belgia. Salju yang mengantarkan gadis kecil kembali ke rumah, bersama cahaya bintang yang memandunya.

Lights will guide you home.










Ik zal altijd op je wachten.

05.45

No comments: