Thursday, October 22, 2009

why are you crying?

Aku berjalan di koridor rumah sakit.
Baunya masih sama. Bau yang oleh nervus olfaktoriusku diterjemahkan sebagai bau rasa sakit, bau penderitaan, bau rasa sedih, bau harapan yang tinggal sedikit.

Aku mengikuti papa mama berbelok ke ruang bertandakan ICU/ICCU. Di depan ruangan itu ramai oleh beberapa orang. Kami harus bergantian untuk bisa masuk ke sana dan harus memakai jas biru yang mirip jas praktikum. Kami masih menunggu di luar sampai mama melihat tante(adik ipar papa) keluar. Mama menyuruh aku masuk duluan.

Aku masuk ke ruangan dingin itu. Aku lupa untuk membawa kacamata sehingga aku tidak bisa ngeliat dengan jelas dimana sepupuku terbaring malam itu. Aku melayangkan pandangan ke depan mencari dimana gerangan sepupuku terbaring. Aku menoleh ke sebelah kanan. Pasien pertama seorang perempuan, terbaring lemah dengan selang di hidungnya. Pasien selanjutnya sama, bedanya dia sedang ditunggui seseorang, mungkin adik atau kakakknya. Pandangannya ke depan, tapi pandangan itu kosong. Entah apa yang ada di pikirannya.

Aku beralih ke tempat tidur selanjutnya. Sepupuku terbaring lemah ditemani ibunya. Di kanannya ada 2 tiang infus dengan 1 kantong infus berisi Sodium Chloride(NaCl) dan satu tabung cukup besar yang terlihat asing. Di kirinya ada 1 tiang infus dengan 1 kantong infus berisi Ringer Laktat(RL).

Aku memegang tangan sepupuku. Hangat. Aku tiba-tiba teringat saat-saat lebaran kemarin, dimana dia datang bersama istrinya, anak laki-lakinya yang berumur 7 tahun, dan anak perempuannya, bayi lucu berumur 3 bulan. Rasanya mataku mulai panas. Aku bertanya kepada tante sejak kapan dia koma. Tante mulai bercerita tentang perjalanan penyakit sepupuku, aku mendengarkan dengan seksama. Sesekali tante bertanya, mengungkapkan kekhawatirannya. Aku mencoba menjawab sembari menenangkan beliau. Tiba-tiba tante berkata:

"Dia juga dipasangi mesin ini"

Aku menoleh ke arah tirai yang disibakkan tante. Susah untukku melihat ke arah mesin yang dimaksud tanpa melewati beliau terlebih dahulu. Aku berjalan memutar membelakangi tirai. Sebelum sampai ke mesin yang dimaksud beliau, aku melihat ke sudut ruangan. Di sana ada 1 pasien lagi, tetapi hanya kakinya yang terlihat karena tirainya ditutup hampir secara keseluruhan. Di depan ranjangnya banyak sekali orang berdiri yang pastinya merupakan keluarganya. Ada sekitar 5-6 orang berdiri di sana. Lalu ada seorang pria tua duduk di sekitar mereka. Matanya terlihat bengkak. Di sampingnya seorang laki-laki yang sepertinya anaknya menepuk-nepuk pundaknya.

Untuk beberapa saat, aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Aku beralih ke mesin yang tante maksud. Mesin EKG ternyata(Elektrokardiografi).

"Tante ga ngerti maksudnya apa, kadang-kadang mesinnya suka bunyi"

Aku memperhatikan layar mesin itu. Mesin itu memang berbunyi sejak tadi:

HR is too high. RR is too high.

HR adalah singkatan dari heart rate. Denyut jantung. Sedang RR adalah respiration rate. Sedari tadi sepupuku mengalami takikardia dan takipneu. Denyut jantungnya di atas 110, terus bergerak hingga ke 117 kali per menit.

Dan laju respirasinya, tinggi menembus angka 46 kali per menit. dia bernafas lebih cepat hingga hampir 2 kali daripada orang normal. Laju respirasi normal adalah 16-24 kali per menit.

Aku mencoba menjelaskan kepada tanteku dengan perlahan dan bahasa yang paling sederhana. Aku mencoba menenangkan beliau sembari terus berdoa dalam hati. Alhamdulillah, denyut jantung dan laju nafasnya perlahan menurun. Aku memberi tahu tante kalo denyut jantung dan nafasnya sudah tidak terlalu tinggi lagi. Tanteku tersenyum sedikit lega.

Tiba-tiba terdengar suara,

"Kakak saya kok ga dipasangi mesin ini ya. Nak?'"

Aku menoleh. Seorang ibu dengan jas biru yang sama.

"Kakak ibu sakit apa?"

"Kakak sepupu, kena stroke, kenapa ga dipasangi mesin ini ya?"

"Berarti kondisi jantungnya bagus dan stabil bu" aku menjawab sambil tersenyum.

"Oh, alhamdulillah, terus kenapa kakak sepupu saya bisa terkena stroke, Nak?"

Aku mencoba menjelaskan kembali dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tanteku ikut mendengarkan. Sang ibu menggangguk-angguk mencoba mencerna penjelasanku. Sampailah ia pada pertanyaan:

"Kakak sepupu saya masih bisa sembuh kan nak? Masih bisa kembali seperti semula kan?"

Aku menatap mata ibu itu lekat. Aku berusaha menjawab tadi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokkanku seperti tercekat. Aku hanya bisa memberikan sebuah senyum yang keluar tertahan.

Belum sempat ibu itu bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara ribut dari arah sudut kamar. Pasien yang tadi, aku bergumam dalam hati. Kami bertiga menoleh ke arah ranjang pasien itu, yang masih tertutupi tirai. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari balik tirai itu. Dia berjalan lurus ke depan, dengan tergesa-gesa. Seketika terdengar tangisan dimana-mana.

Aku menoleh ke arah pria tua yang duduk ditemani anaknya tadi. Dia terisak-isak, semakin lama semakin hebat. Anak laki-lakinya itu ikut menangis, tapi ia menangis tertahan.

Pasien itu telah meninggal.

Untuk sesaat aku seakan kehilangan pijakan. Aku seperti tersedot ke dunia lain. Hitam, kelam, penuh kesedihan. Aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku selalu begini.

Mamaku datang. Menyuruhku bergantian dengan papa. Aku melangkah keluar. Masih terdengar tangisan dimana-mana. Aku menyerahkan jas biru itu ke papa. Di luar cukup gelap tetapi keadaan ramai.

Masih terdengar tangisan dimana-mana. Di luar juga ternyata.

Aku masih berusaha keras menahan diri. Aku duduk di bangku. Menatap kosong ke depan.
Di depan koridor ini ada danau buatan yang selalu terlihat cantik di siang hari. dan ternyata di malam hari, terlihat menyesakkan. Airnya hitam. Memantulkan cahaya langit di malam hari.

Aku bertanya dalam hati, sampai kapan aku akan begini terus?
Ketika aku menjadi dokter nanti, apakah aku masih akan selalu begini? Setiap menghadapi pasien yang koma, pasien yang kondisinya kritis, dan pasien yang sedang menghadapi kematian dan akhirnya harus pergi? Ataukah aku akan seperti dokter tadi? Yang bisa keluar dengan tegar dan tidak berkata apa-apa, menahan apa yang berkecamuk dalam hatinya, setelah melihat pasien yang dia rawat dengan seksama, pergi.

Pergi untuk selama-lamanya. Pergi ke haribaan Tuhan.

Tapi aku tetaplah aku, kurasa. Tidak akan berubah banyak nantinya. Aku tetaplah aku yang tidak pernah bisa menghadapi perpisahan. Yang selalu rapuh akan kehadirannya.

Di malam yang kelam itu,
sendiri duduk di bangku coklat di depan ruang ICU/ICCU,



aku menangis,
atas kepergian seseorang yang bahkan tidak aku kenal.



au revoir, madame.

Oct 21ste, 2009

------------------------------------------------------------
...

"I could never forget that moment. And I never thought I would experience a de-ja-vu when I was with him at the hospital, " she said with a long sigh,
"He couldn't say much, he was too weak already. But he whispered something, 'I am back in the dark ocean. I see no end, and I see no beginning.' I held his hand and cried, I thought he was just rambling, for his consciousness has gradually weakened. With all that was left in him, the last thing he whispered to me was,

'Why are you crying? I will find you again. It's our game.'

...

I didn't see him die. I just couldn't. He was with me still, and he is with you all now. He is back in our hearts. And that's where we all reside in one another, now and then. So,

Why are you all crying?

...

(back to heaven's light-dewi lestari)

No comments: