Thursday, October 15, 2009

secangkir vanilla latte

perkenalan kita berawal belasan tahun yang lalu.

aku masih ingat saat-saat dimana aku mencuri-curi pandang ke arahmu di malam hari itu. mata kecilku memandangimu dari balik pintu kamar yang sekarang sudah beralih fungsi sebagai garasi itu. kau terlihat sangat hangat untuk malam yang begitu dingin kala itu. dan aku masih menunggumu. masih sambil memuntir baju tidur lucu berwarna putih yang dipilihkan ibu.

dan tiba saatnya penantian itu berakhir.

ayah beranjak dari kursinya, mengantar hingga ke pagar luar tamunya bersama dengan ibu. dan seketika aku sudah berada di depanmu. mengerjap-ngerjapkan mata menatap kehangatanmu. lalu ayah dan ibu pun kembali. aku menatap ayah dalam sembari tersenyum simpul, kemudian beliau menggangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, seperti bisa membaca pikiranku.

dan saat itu aku tau, aku telah jatuh cinta padamu.

dan kemudian kita berpesta, melebur bersama dalam raga ciptaan Tuhan ini. rasanya hangat, begitu hangat. aku terus menerus melebur bersamamu, hingga lupa, kalau aku hanyalah seorang anak berumur tak lebih dari 6 tahun.

dan beberapa jam setelah jatuh cinta pertamaku padamu,
aku, gadis kecil berusia tak lebih dari 6 tahun itu,
mengalami insomnia pertamaku.
dan paginya aku pun berbalik membencimu, sangat membencimu hingga ke akar-akarnya. menciummu saja membuatku muak.

waktu berlalu.

kita masih terjebak dalam jarak yang begitu jauh. dipisahkan oleh kebencianku padamu yang teramat sangat. kau begitu hangat, tapi juga begitu jahat. aku tidak pernah bisa membayangkan ada yang tega membiarkan anak berumur 6 tahun terjaga semalam suntuk.

dari sana aku belajar mengenai satu hal: membiarkan dirimu terlena dalam cinta yang teramat sangat dapat menanamkan kebencian yang teramat sangat pula, sekali saja dirimu terluka.

belasan tahun berlalu dan sampailah aku pada negeri bersalju itu.

pada saat itu sedang musim gugur.
dan ternyata, english blend tea ataupun rose tea itu tidak cukup mampu menyingkirkan efek dari suhu yang hanya belasan derajat itu. dan tentu saja sama sekali tidak mampu menaikkan tekanan darah ciptaan Tuhan yang selalu saja berada pada angka 90/60 mm Hg ini.

aku menatapmu lama. hostmom memandangku dengan penuh kegelian seakan berkata, warme chocolade pun tidak cukup ampuh anak muda, terlebih kau hanya dapat menemuinya di kafe di pusat kota, yang berarti kau harus mengayuh sepeda melawan kejamnya angin selama 30 menit pulang pergi, kau pilih sendiri, dia mengerling.

dan dengan berat hati, akhirnya kita bersinggungan.
kehangatanmu menjalar ke seluruh tubuh, cukup kuat untuk menaikkan tekanan darah gadis muda yang keras kepala ini.

saat itu pula aku sadar, aku jatuh cinta lagi kepadamu. setelah kebencian selama belasan tahun. ya.

sejak saat itu kita kembali berteman. cintaku padamu mungkin tidak sebesar dulu. aku mencintaimu dengan, ya... biasa-biasa saja. aku menemuimu jika dan hanya jika aku rindu. dan kau pun tidak pernah mengeluh. dalam setahun kita mengisi beberapa malam bersama tiap bulannya. kau memberiku semangat untuk membaca rangkaian kalimat berbahasa asing itu, kau menemaniku dalam pencapaian cita-cita hidupku. kita terlibat dalam segitiga cinta yang begitu unik. aku, dirimu, dan buku-buku kedokteran itu di malam hari.

dan sore ini kita kembali bertemu, aku dan dirimu. berdua saja dalam diam. kita memang tak pernah banyak berbicara untuk mengungkapkan cinta kepada masing-masing. diamku dan kehangatanmu, itu sudah lebih cukup untuk menguapkan rentetan masalah kehidupan yang aku alami.

hujan di luar, kau dalam genggaman, dan aku yang diam. bersama kita bercerita dan mengukir satu lagi kisah pembelajaran hidup. dan tentu saja kau tetap diam seperti biasa, hanya memberikan sebentuk kehangatan untukku.

dalam bentuk secangkir vanilla latte.

begitu hangat.
seperti biasa.
seperti dulu.

5 comments:

Unknown said...

mau dunk^^

Prisya Dhiba Ramadhani said...

ici s'il vous plaƮt, mademoiselle :)

Anonymous said...

ehem2

Fiksi atau nyata, Pris?
hehe

Nisa moeL said...

Prisya...
Bahasanya cantik :'O

Prisya Dhiba Ramadhani said...

@arin
nyata sayang :)

@amul
iya ya? makasih amul complimentnya :)